Karakter-1: Berpikir Jangka Pendek (Short Term)
Salah satu indikasi besarnya konsumen yang punya pikiran jangka pendek ini adalah maraknya kredit konsumsi. Selain didorong oleh sulitnya cash flow rumah tangga, fenomena ini juga didorong oleh perhitungan yang hanya melihat kebutuhan jangka pendek, yakni mendapatkan barang dengan cara cepat. Kondisi ini juga dibentuk oleh kondisi ekonomi makro yang mengakibatkan penurunan daya beli pada masyarakat, hingga konsumen harus berpikir untuk mencari solusi dalanm jangka pendek dulu.
Indikator lainnya adalah, konsumen selalu membeli berdasarkan bajet. Hal ini nampak dari kecenderungan mereka membeli sesuatu dalam kemasan-kemasan kecil, meski sebenarnya mereka mampu untuk membeli yang lebih besar.
Dampak dari berpikir jangka pendek ini juga membuat konsumen kita cepat lupa. Kecelakaan berulang yang dialami beberapa maskapai penerbangan kita, toh tidak membuat ‘kapok’ para pengguna untuk terbang dengan maskapai itu.
Karakter-2: Tidak Terencana
Kebiasaan orang Indonesia, cenderung enggan merencanakan sesuatu jauh-jauh hari. Salah satu kebiasaan ini terlihat saat belanja dan pergi ke ritel-ritel modern. Mereka cenderung melakukan impulse buying atau langsung membeli di tempat.
Kebiasaan lainnya adalah selalu melakukan tindakan yang mendekati limit waktu yang disediakan. Lihatlah fenomena antri bayar telpon, listrik, PAM, SPP anak sekolah di hari-hari terakhir batas pembayaran.
Karakter-3: Suka Berkumpul
Kebiasaan suka berkumpul sudah melekat dalam budaya konsumen kita. Sampai-sampai di masyarakat Jawa ada jargon, “mangan orang mangan sing penting ngumpul”. Masyarakat kita memang memiliki kehidupan sosial yang kuat. Berbeda dengan Barat yang khas dengan individualitiknya. Maka tidak heran, jika arena-arena berkumpul dan klub-klub seperti kafe, fitness center, arisan, marak subur di Indonesia.

Tidak semua memang, tetapi sebagian besar dari konsumen kita masih banyak yang gagap. Terutama di bidang IT. Pada tahun 2005 misalnya, pengguna internet di Indonesia baru mencapai 7-8% dan seluruhnya adalah masyarakat perkotaan. Jauh berbeda dengan AS yang mencapai 73%. Dari 7-8% di Indonesia itu pun sebagian besarnya dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak produktif, seperti membuka situs-situs porno yang semakin marak!
Karakter-5: Orientasi pada Konteks
Konsumen kita cenderung menilai dan memilih sesuatu dari tampilan luarnya. Dalam hal kebutuhan akan informasi misalnya, masyarakat Indonesia cenderung memilih informasi yang ringan, tidak ‘njlimet’ (baca: susah), menghibur, ringkas dan mudah dicerna.
Banyak pendapat, kalau orang Indonesia punya minat baca yang lebih rendah ketimbang negara lain. Terutama membaca literatur yang padat berisi ilmu dan pengetahuan. Begitu pun saat ‘menyantap’ acara si televisi. Acara yang di tonton umumnya acara-acara yang bersifat infotainment, sinetron, film, olah raga, kuis, berita kriminal. Sedang informasi ‘berat’, ratingnya rendah. Kecenderungan ini mengakibatkan konsumen mudah untuk menerima dan dipengaruhi oleh informasi di media tanpa keinginan untuk mencari kebenaran berita itu. Kasus penghakiman terhadap poligami Aa Gym sebagai sesuatu yang ‘salah’ adalah contohnya. Segala yang ditampilkan dan diopinikan media diterima sebagai sesuatu yang final.
Menurut seorang praktisi periklanan, konsumen Indonesia lebih mudah ‘terhipnotis’ iklan dan kemasannya dibanding di tempat lain.
Karakter-6: Suka Merek Luar Negeri
Kebanyakan alasannya adalah image dan kualitas. Merek luar negeri di persepsi lebih baik dan bergengsi dibanding buatan negeri sendiri. Masyarakat kita masih memandang inferior terhadap diri sendiri, akibatnya merek dari luar begitu mendominasi pasar di Indonesia dibandingkan merek lokal. Meski sudah ada beberapa produsen dalam negeri, tetapi mereka lebih percaya diri dengan menggunakan ‘merek luar’ agar dikira sebagai produk luar negeri.

Karakter-7: Religius
Konsumen Indonesia sangat peduli terhadap isu agama. Terlebih mayoritas penduduknya adalah Islam, yang sangat memperhatikan aspek kehalalan pada suatu produk. Isu ini bisa menjadi sangat sensitif dan sangat mempengaruhi minat beli masyarakat. Kasus Ajinomoto, membuktikan hal itu.
Hasil polling kerjasama antara Situs Indohalal, Yayasan Halalan Toyyiban dan LPPOM MUI, Suroso mengungkapkan bahwa kehalalan menjadi pertimbangan pertama bagi konsumen muslim dalam memilih produk makanan, minuman atau restoran.
Namun, saya melihat. Konsumen kita juga masih sangat mudah untuk di ‘goyang’ persepsinya hanya dengan menampilkan seorang tokoh agama (ulama) di televisi yang bersedia makan makanan yang sebelumnya di opinikan haram.
Karakter-8: Gengsi
Menurut Handi Irawan, sikap gengsi ini muncul karena pertama, konsumen kita suka bersosialisasi. Ini mendorong orang untuk saling pamer. Kedua, kita masih menganut budaya feodal yang menciptakan kelas-kelas sosial. Ketiga, masyarakat kita mengukur kesuksesan dengan materi dan jabatan. Maka wajar jika seseorang ingin dianggap sukses, dia harus memiliki atribut-atribut kesuksesan seperti mobil; rumah; kredit card; PDA, dll.
Karakter-9: Kuat di Subculture
Unsur etnis, fanatisme, dan kebiasaan kedaerahan ternyata masih cukup berpengaruh. Setiap daerah memiliki kekhasan. Adanya perbedaan subculture ini seringkali juga menyebabkan tidak semua merek nasional bisa menguasai semua ‘medan pertempuran’.
Dalam hal makanan misalnya. Orang Padang yang senang dengan pedas mungkin tidak cocok dengan masakan Jawa (baca: Jawa Tengah) yang cenderung manis. Begitu pun dengan orang Sunda yang mungkin menganggap ‘kolak’ sayur yang dibuat oleh orang Jawa.
Karakter-10: Kurang Peduli Lingkungan
Banyak perusahaan Indonesia yang memposisikan produknya sebagai produk yang ramah lingkungan, akan tetapi banyak juga yang terbukti tidak efektif. Jika di luar negeri faktor lingkungan menempati ranking atas, tidaklah demikian dengan konsumen Indonesia yang menempatkan faktor lingkungan di urutan terbawah.

Betul ngga tuh gan ?? Mudah-mudahan bermanfaat.